Minggu, 28 September 2003

22) Yesus membawa damai dan keselamatan atau onar ?

22) Yesus membawa damai dan keselamatan atau onar ?
a. Yesus menyelamatkan dunia (Matius 5:9, Yohanes 3:17, Yohanes 10:34-36).
b. Yesus membawa onar, pedang dan kekacauan keluarga (Matius 10: 34-36).

JAWAB : (Kategori : salah memahami makna kata dalam bahasa asli)

"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah."
TR Transliterasi: makarioi hoi eirênopoioi hoti autoi huioi theou klêthêsontai (Matius 5:9)
"Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia."

TR Transliterasi: ou gar apesteilen ho theos ton huion autou eis ton kosmon hina krinê ton kosmon all hina sôthê ho kosmos di autou (Yohanes 3:17)
"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang."
TR Transliterasi: mê nomisête hoti êlthon balein eirênên epi tên gên ouk êlthon balein eirênên alla makhairan (Matius 10:34)

Yohanes mempertentangkan antara menghakimi (krinô) dengan menyelamatkan (sôzô) dunia. Sedangkan Matius mempertentangkan antara damai (eirênê) dengan pedang (macaira-makhaira), kedua ayat ini membicarakan pokok yang berbeda, berbeda tidak bermakna bertentangan. Putih dan hitam dianggap bertentangan, tetapi biru, kuning, hijau, merah, dan warna-warna selain putih dan hitam, bukanlah pertentangan (kontradiksi) melainkan perbedaan (variasi).

Tidak ada pernyataan lain, dimana kejujuran Yesus Kristus yang sangat menggetarkan itu diungkapkan secara blak-blakan. Di dalam pernyataan ini Yesus mengungkapkan tuntutan kristiani yang paling tinggi dan yang paling tidak mengenal kompromi. Di situ Yesus memberitahu para pengikut-Nya akan hal-hal yang pasti mereka hadapi, karena mereka memang benar-benar menerima tugas menjadi para utusan.

Yesus menyodorkan peperangan, dan di dalam peperangan atau pertentangan itu sangat boleh jadi bahwa lawan dari murid Yesus adalah justru orang-orang yang sangat dekat, yaitu seisi rumah mereka sendiri.

Seperti biasanya, maka di dalam menyodorkan hal perang atau pertentangan ini, Yesus pun memakai bahasa yang sudah biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi percaya, bahwa salah satu peristiwa yang akan terjadi pada Hari Tuhan kelak adalah adanya perpecahan di dalam keluarga-keluarga. Para rabi mengatakan, "Pada masa ketika Anak Daud datang, anak-anak perempuan melawan ibu mertuanya." "Anak laki-laki akan menghinakan bapanya, anak perempuan memberontak melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya, dan setiap orang bermusuhan melawan orang-orang yang ada di dalam rumahnya sendiri." Jadi Yesus seolah-olah hendak mengatakan, "Akhir zaman yang engkau nanti-nantikan itu telah tiba; dan campur tangan Tuhan Allah di dalam sejarah ini ialah memecah-belah rumah tangga, kelompok serta keluarga menjadi dua golongan."

Kalau ada hal besar yang muncul, maka hal besar itu memang cenderung untuk membagi-bagi orang dalam kelompok-kelompok. Hal-hal besar seperti itu selalu menyebabkan adanya orang-orang yang berusaha untuk menjawab, atau menolak, atau bahkan menguji dan mengkajinya. Demikianlah juga dengan kehadiran Yesus. Pertemuan dengan Yesus akan menyebabkan setiap orang harus memilih antara menerima atau menolak-Nya. Dan dunia serta manusia di dalamnya selalu terbagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan yang menerima Yesus dan golongan yang belum menerima-Nya.

Namun hal yang paling pahit dalam hubungan ini ialah, bahwa permusuhan atau perlawanan itu justru terjadi di antara orang-orang yang ada dalam satu rumah tangga. Dapat terjadi bahwa ada orang yang sangat mengasihi istri dan keluarganya, sehingga ia menolak untuk melakukan hal-hal yang baru, pelayanan, panggilan berkorban dan lain-lain. Sebab penolakannya itu kebanyakan hanya dua, yaitu karena ia tidak ingin meninggalkan istri dan keluarganya, atau karena ia takut bahwa istri dan keluarganya akan masuk ke dalam bahaya.

Oliver Cromwell pernah meminta seorang bangsawan bernama Wharton di Inggris, untuk ikut berperang pada tahun 1649. Cromwell menduga bahwa Wharton lebih mengasihi istrinya ketimbang pergi perang. Maka dalam suratnya kepada Wharton, Cromwell antara lain menulis sebagai berikut, "Aku berharap tuan tidak menjadikan istri tuan suatu penggodaan yang lebih besar daripada yang seharusnya. Perhatikanlah semua hubungan kemanusiaan; kasih sayang tidak boleh dijadikan godaan. Namun dalam kenyataannya kita sering kali melakukan hal itu." Telah sering terjadi juga adanya orang-orang yang menolak panggilan Tuhan, karena mereka terlalu memperhatikan kepentingan dirinya sendiri sehingga mereka tidak bisa melakukan hal-hal lain sama sekali. Dengan memberikan perhatian yang terlalu besar kepada diri sendiri, orang sebenarnya malah menjadikan dirinya sendiri makin tidak berdaya.

Untuk ini ada sebuah syair yang pernah ditulis oleh seorang tentara muda kepada kekasihnya. Judul syair itu ialah "Going to Wars":
"Sayangku, janganlah kau katakan aku tidak sayang padamu, Karena dari keteduhan degup dadamu dan ketenangan hatimu Aku mengangkat senjata pergi ke medan perang. Benar, aku sedang memburu kekasih baru, Yaitu musuh di medan laga,
Yang kukejar dengan iman teguh, pedang, kuda dan perisai. Namun keadaan ini memang berubah cepat, Dan engkau pun pasti akan mengagumi, Bahwa aku tidak dapat mengasihi engkau, Seperti aku mengasihi kehormatan pahlawan."

Memang tidak setiap orang akan diperhadapkan dengan kejadian atau kasus seperti tersebut di atas. Mungkin banyak juga orang yang dalam hidupnya jarang sekali menghadapi pilihan-pilihan terbatas yang harus dipilihnya. Tetapi tak dapat disangkal pula, bahwa ada kemungkinan seseorang harus melakukan pilihan, di mana kekasihnya sendiri yang justru menjadi lawan atau penantangnya. Lebih-lebih kalau pikiran serta sikap sang kekasih itu tetap ingin mempertahankan, agar orang yang bersangkutan itu tidak melakukan kehendak Tuhan yang seharusnya dilakukannya.

Ada istri atau suami, bahkan juga anak-anak, yang bersifat terlalu egois, sehingga suami atau istri atau orang tua tersebut tidak bisa melakukan kehendak Tuhan yang sama-sama mereka ketahui. Suami tidak lagi dapat menyatakan kasihnya kepada orang tua dan saudara-saudara kandungnya. Demikian juga istri tidak bisa menyatakan kasih dan hubungannya dengan keluarga kandungnya sendiri. Di dalam rumah tangga itu terjadilah istri melawan suami, suami melawan istri, dan anak-anak melawan orang tua. Padahal mereka sama-sama tahu bahwa kasih harus dinyatakan dalam perbuatan nyata kepada sesama, termasuk kepada keluarga-keluarga yang menjadi asal-usul kedua belah pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar